Belajar dari konsep Compact City: Krystyna Solarek

Lintang Ayasha
3 min readFeb 25, 2024

--

Sebelum membaca mengenai compact city: city of short distance dalam buku karya Prof. Krystyna Solarek, dalam bayangan saya compact city adalah konsep kota yang padat, dengan struktur kota yang dapat memenuhi kebutuhan penduduknya secara mudah dan cepat. Ternyata banyak detail-detail menarik yang disampaikan oleh Krystyna Solarek mengenai compact city dan bagaimana konsep tersebut berawal dari kurangnya kepadatan pada area suburban di Polandia.

Lalu saya coba membayangkan apakah compact city dapat menjadi masa depan kota-kota di Indonesia? Jika compact city adalah konsep kota yang memenuhi kebutuhan penduduk sehari-hari (termasuk kebutuhan bertumbuh) dalam jarak dekat, mau tidak mau saya membayangkan lagi masa-masa saat masih bersekolah. Saya tinggal di Jogja hampir seumur hidup saya, dan selalu berpindah rumah karena mengontrak dan hingga saya kuliah, keluarga tidak memiliki rumah tinggal sendiri. Untuk bersekolah saja, orang tua memilihkan sekolah yang terbaik meskipun letaknya puluhan kilometer dari jarak rumah saya. Pun begitu dengan kedua orang tua saya yang tempat kerjanya berbeda kota dengan tempat tinggal kami.

Semasa sekolah, saya sadar dan tahu betul bahwa banyak sekali teman-teman dari luar kota yang rela berjuang mati-matian untuk bisa bersekolah di kota meskipun rumahnya sangat jauh. Saat saya SMA, teman saya berangkat sekolah dari rumah pukul 4.30 karena rumahnya berjarak 40km dari SMA dan itu dia lakukan setiap hari. Keseharian seperti itu juga dapat kita temui saat ini, di Jabodetabek. Banyak orang yang tinggal di Bogor, Bekasi, Tangerang, dan kota-kota satelit Jakarta yang rela bekerja dengan menempuh perjalanan 2 jam lebih dan hal tersebut menjadi keseharian mereka. Jika membandingkan dengan konsep compact city oleh Krystyna Solarek, dimana harapan beliau melalui struktur kota yang compact, hal-hal yang saya sebutkan tadi semua tidak perlu terjadi. Orang bisa bekerja hanya di sekitar lingkungan mereka, bersekolah, berbelanja, dan berwisata hanya dalam jangkauan berjalan kaki, bersepeda, atau transportasi publik yang efisien.

Saya rasa, compact city ini lebih kepada sebuah sistem daripada hanya sebuah konsep. Sebuah kota dapat menjadi compact city jika setiap aspek dalam kota dapat berjalan dan menopang satu sama lain serta memutar roda kehidupannya sendiri. Hal ini berarti kita perlu membayangkan untuk tinggal dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seumur hidup di kota dan kawasan yang sama. Jika melihat kembali pada kasus di Indonesia, sebenarnya sudah cukup banyak upaya-upaya menciptakan sistem compact city di beberapa aspek misalnya pendidikan. Sistem zonasi yang diterapkan kemendikbud merupakan upaya untuk meyakinkan orang-orang yang awalnya memiliki lifestyle mencari pendidikan di tempat yang jauh dan bagus, sekarang berusaha dipush down dengan sistem zonasi. Selain untuk pemerataan akses pendidikan, guru, dan fasilitas bersekolah, secara tidak langsung kebiasaan ini berkontribusi dalam membentuk mental dan lifestyle hidup dalam sebuah sistem compact city.

Menurut saya, pendekatan dari sistem dan kebijakan merupakan pendekatan yang cukup efektif bagi penduduk Indonesia. Seperti dalam bukunya, Krystyna menyampaikan bahwa compact city merupakan kota yang bekerja pada skala neighborhood sehingga lifestyle penduduknya lah yang mempengaruhi bagaimana kota berjalan. Sedangkan untuk membentuk lifestyle tersebut di Indonesia, tantangannya sangat berat. Penghasilan dan lapangan pekerjaan tentu sangat menentukan gaya hidup di Indonesia, akses dan pemerataan fasilitas, serta pengaruh sosial media juga sangat mempengaruhi gaya hidup orang Indonesia. FOMO sepertinya masih menjadi kebiasaan young adult di Indonesia, sehingga mengubah gaya hidup terutama untuk agen perubahan (usia produktif) Indonesia menjadi tantangan yang berat.

Setelah merefleksikan bacaan tentang compact city, kita yang sedang berada di usia produktif bisa ikut merubah kebiasaan kita salah satunya dengan ‘urip samadya’ atau ‘hidup dengan merasa cukup’. Bukan merasa cukup dengan fasilitas yang sudah ada dan tidak menuntut banyak perubahan, tapi merasa cukup dengan apa yang kita miliki (yang kita perjuangkan) tanpa mengikuti tren secara berlebihan, memaksakan gaya hidup, dan sebagainya. Stigma di Indonesia mengenai kehidupan sosial sungguh sangat kejam, sehingga saya sebagai orang muda kadang merasa mengalami banyak tuntutan sosial yang menekan. Bahkan, menurut saya untuk hidup sederhana, seimbang, dan biasa-biasa saja, rasanya kok seperti dilihat sebagai pribadi yang ‘tidak ambisius’, ‘tidak punya mimpi’, dan sebagainya.

Ternyata siapa sangka bahwa hidup biasa-biasa saja adalah gaya hidup yang mungkin akan menyelamatkan kita, lingkungan kita, dan kota kita.

--

--

Lintang Ayasha
Lintang Ayasha

No responses yet